GURU, DIGUGU DAN DITIRU

GURU, DIGUGU DAN DITIRU

Guru dalam filosofi bahasa Jawa adalah sebuah kata yang mempunyai makna “digugu dan ditiru”. Maksud dari digugu dan ditiru adalah seorang guru harus dapat memenuhi dua kata itu. Digugu artinya perkataannya harus bisa dipertanggungjawabkan, dan ditiru artinya sikap dan perbuatannya dapat diteladani oleh siswanya.

Agar menjadi sosok yang digugu dan ditiru maka guru hendaklah membaca sirah kehidupan Nabi Muhammad SAW khususnya yang berkaitan dengan akhlak Nabi SAW sebagai seorang guru.

Seperti apa akhlak Nabi SAW sebagai seorang guru? Dengan mengetahuinya, seorang guru jika ingin berhasil dalam mendidik siswa maka hendaknya mau meneladani akhlak Nabi SAW sebagai bekal dalam menunaikan profesi sebagai guru.

Pertama, akhlak terhadap Rabbnya. Dalam urusan ibadah Nabi SAW senantiasa melaksanakan dengan sebaik-baiknya. Ia adalah orang yang kuat dalam ibadah, berdzikir, tidak membiarkan waktunya berlalu tanpa manfaat, dan tidak berhenti dalam istighfar.

Nabi SAW selalu melewati malam-malamnya dengan shalat malam, berdoa, dan bertasbih dengan khusyuk hingga terdengar dari dadanya suara seperti suara bejana yang mendidih karena menangis. Hal itu menunjukkan keluhuran akhlak Nabi SAW terhadap Rabbnya.

Hal pertama bagi seorang guru dalam menjalankan amanah sebagai pendidik ialah meningkatkan hubungan baik (akhlak) terhadap Rabbnya. Bangun di sepertiga malam untuk bermunajat kepada-Nya; minta ampunan, petunjuk dan bimbingan-Nya agar dapat mendidik dengan penuh ketulusan; berwudhu sebelum berangkat ke sekolah dan luruskan niat untuk beribadah. Sebab, Dialah yang membolak-balikkan hati manusia (anak didik).

Kedua, akhlak terhadap keluarga. Nabi SAW adalah sebaik-baik manusia, terbaik bagi keluarganya. Ia memanggil istrinya dengan panggilan paling baik (HR Bukhari). Jika di rumah, beliau terbiasa membantu keluarganya (HR Bukhari); terbiasa menjahit baju dan menambal sandalnya sendiri (HR Ahmad dan Ibnu Hibban); dan lebih pengasih kepada keluarganya (HR Muslim).

Hal berikutnya adalah, seorang guru hendaknya memperbaiki hubungan baik terhadap keluarganya. Keluarga sebagai laboratorium bagi guru dalam membentuk anak didik. Jika guru tidak dapat mendidik anak-anaknya di rumah yang jumlahnya sedikit, apalagi mendidik anak didik yang jumlahnya lebih banyak.

Ketiga, akhlak terhadap sesama manusia. Nabi SAW sebagai sosok yang agung di antara semua makhluk, seperti jujur, amanah, tawadhu, pemalu, sabar, kasih sayang, lemah lembut, pemaaf, adil, memenuhi janji, dermawan, pemberani, berwibawa, dan sifat mulia lainnya. Maka, sifat-sifat itu pula yang hendaknya dimiliki oleh seorang guru.

Dengan demikian, jika seorang guru dapat meneladani akhlak Nabi SAW maka layak menjadi guru yang digugu dan ditiru. Buktikan!

 

TAGS
Share This
WHATSAPP