
Refleksi Makna Shalat Bagi Muslimah
Shalat adalah tiang agama. Ungkapan ini meskipun bukan hadits yang sanadnya shohih sampai ke Baginda Nabi Muhammad ﷺ, namun merupakan ungkapan yang tepat, menggambarkan pentingnya sholat pada kehidupan manusia. Kata Shalat dengan berbagai derivasinya dan konteksnya terhitung 83 kali disebutkan di dalam Al-Qur’an. Sedangkan perintah khusus untuk mendirikan shalat terhitung sebanyak 18 kali disebutkan di dalam Al-Qur’an. Salah satunya adalah dalam surat Al-Baqoroh ayat 43.
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ ﴿٤٣﴾
Ibnu ‘Asyur dalam At-tahrir Wa Attanwir mengatakan mengenai tafsir ayat ini; “Sholat adalah amalan yang menunjukkan pengagungan Sang Pencipta, rasa tunduk dan pasrah padaNya. Sholat juga amalan yang membedakan antara seorang mu’min dan munafiq. Seorang mu’min yang jujur tidak akan pernah meninggalkan sholat”. Penyertaan perintah sholat juga seringkali disebutkan pertama sebelum perintah lainnya. Ini menandakan urgensi ibadah tersebut sebelum ibadah lainnya. Shalat wajib hukumnya bagi setiap muslim, sehingga sholat pada hakikatnya adalah amalan individu dan bersifat personal, langsung antara hamba dengan Allah.
Kontemplasi diwajibkannya shalat pada hikmah isra & mi’raj bagi muslimah
Dalam tafsirnya Al-Mishbah, Quraish Shihab mengatakan bahwa salah satu hikmah peristiwa Isra’ (perginya Nabi pada waktu malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha) memberi arti salah satu sarana untuk mendekatkan diri hamba kepada Allah adalah melalui masjid.
Dengan kata lain, shalat identik dengan solusi atas setiap permasalahan manusia. Begitu juga terhadap muslimah. Salah satu kebiasaan wanita adalah suka bercerita kepada orang lain jika terjadi masalah, dan cenderung berkeluh kesah jika mengalami kesulitan terutama masalah yang berkaitan dengan rumah tangga, anak-anak, suami, tetangga, keluarga, teman-teman, pekerjaan, dll. Maka seyogyanya, hal pertama yang harus dilakukan oleh muslimah jika mendapatkan kesulitan adalah meminta tolong dan berkeluh kesah kepada Sang Maha Pencipta melalui shalat. Sesungguhnya Allah Maha Pendengar setiap keluh kesah hambaNya.
Setiap langkah kebaikan pasti mendapatkan ujian
Kepergian Khadijah binti Khuwailid dan Abu Thalib memberikan dampak kesedihan yang luar biasa pada Nabi. Namun hal itu tidak membuat beliau surut untuk melanjutkan dakwah menyampaikan risalah. Dengan hati yang berduka, Nabi tetap melangkah ke Thaif mencari setitik harapan diterimanya risalah Islam. Namun hati yang berduka bertambah luka karena penolakan yang dilakukan penduduk Thaif pada saat itu. Meskipun demikian, Nabi tetap berhusnuzhon pada mereka, sehinggalah menolak tawaran malaikat penjaga bukit.
Setiap langkah kebaikan dalam mendidik anak-anak, mentaati suami, mentaati orang tua, berjibaku dengan aktifitas rumah tangga, atau bagi yang belum menikah masih berdinamika dengan sekolah, pekerjaan, dll, pastilah tidak lepas dari ujian dan tantangan. Apalagi dalam mengerjakan kebaikan dan menyebarkannya. Disinilah ketahanan dan kesungguhan seorang muslimah diuji. Kelelahan dalam mendidik anak-anak, mengurus mereka, membesarkan mereka adalah langkah-langkah kebaikan dalam rangka beribadah kepada Allah. Maka bersabarlah dan bertahanlah, Wahai Muslimah!
فالأجر على قدر المشقة
Mustahil mengukur kemampuan manusia dengan kemampuan Allah
Masih dalam pembahasan ayat yang sama yakni surat Al-Isra ayat 1 mengenai isra dan miraj, Quraish Shihab juga mengatakan bahwa salah satu hikmah peristiwa tersebut adalah betapa tidak mungkinnya mengukur kemampuan manusia dengan kemampuan Allah. Dalam pandangan manusia, peristiwa isra’ dan mi’raj tidak logis diterima secara akal. Pada zaman itu dimana teknologi belum ada, bagaimana mungkin seorang bisa berpindah jarak jauh dengan waktu yang sangat singkat. Dan juga bagaimana mungkin seorang bisa naik ke atas langit? Meskipun dua hal tersebut dapat dilakukan pada zaman sekarang (berabad-abad) setelahnya, namun begitulah jika mengukur kemampuan manusia dengan kemampuan Tuhan. Bagi Allah sungguh mudah untuk memperjalankan Nabi pada Isra’ dan Mi’raj.
Begitupun halnya dengan muslimah. Begitu banyak hal mustahil yang seakan-akan tidak akan mungkin tejadi jika kita mengukur dengan kemampuan manusia. Idealisme untuk mengejar cita-cita, berbakti pada orang tua, mempunyai rumah tangga yang akur, harta yang berkecukupan, anak-anak yang sempurna, dakwah yang diterima oleh masyarakat, pekerjaan yang stabil, dll. Semua hal itu tidak mungkin dicapai seorang diri tanpa adanya pertolongan dari Allah Azza Wa Jalla. Dan syarat untuk mendapatkan pertolongan dari Allah adalah istiqomah dalam ketaatan dan kesabaran dan terus menjalani shalat dengan khusyu’.
Ditetapkannya kewajiban shalat dalam mi’raj menjadi bukti bahwa shalat adalah hubungan langsung antara Allah dan hambaNya.
Jika kita berkontemplasi, mengapa kewajiban shalat baru turun saat Nabi menunaikan mi’raj dimana Nabi naik turun ke sidratul muntaha untuk bernegoisasi kepada Allah mengenai jumlah shalat fardhu? Perisitiwa mi’raj sendiri baru terjadi saat tahun 10 kenabian. Mengapa kewajiban shalat tidak turun saat periode awa’il kenabian? Atau mengapa kewajiban shalat tidak ditetapkan saat Nabi memulai dakwah jahriyah, dll? Ini menjadi satu hikmah, bahwa shalat adalah hubungan personal antara Tuhan dan HambaNya. Nabi sampai harus naik ke langit untuk menerima perinta tersebut.
Inilah hikmah shalat terbesar bagi muslimah, hakikatnya, shalat tidak hanya sekedar ucapan dan gerakan yang dilakukan secara rutin tanpa makna, melainkan ada do’a dan harapan, ada kepasrahan, ada bentuk penghambaan, ada totalitas penyerahan diri kepada Allah. Kekhusyuan dalam sholat seyogyanya tidak hanya dirasakan saat dalam kesulitan namun juga dirasakan dalam keadaan lapang. Shalat adalah rasa syukur, rasa sabar, tawakkal dan berpasrah terhadap semua ketentuan Allah. Shalat bahkan ibadah yang pertama kali akan dihisab kelak nanti di yaumul qiyamah. Nabi bersabda;
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ، فَإِنْ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ قَالَ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ : انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَيُكَمَّلَ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنْ الْفَرِيضَةِ ؟ ثُمَّ يَكُونُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ. (رواه ابو داود والترمذي والنسائي).
Al-Mubarokfuri Rahimahullah mengatakan saat menjelaskan hadits ini; shalat adalah amalan yang akan pertama dihisab oleh Allah sebelum amalan-amalan lainnya, hubungan dengan Allah akan dihisab sebelum amalan dengan manusia yang berkaitan dengan hak sesama. Barang siapa yang shalatnya baik, akan baik semua amalannya.
Hadits ini juga selaras dengan firman Allah Azza Wajalla;
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ ۗ (سورة العنكبوت: 45)
Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. (Al-Ankabut:45).
Maka wahai muslimah, mari perbaiki shalat kita untuk mendapatkan kesuksesan di dunia dan akhirat. Wallahua’lam.