Literasi Pendidikan

Literasi Pendidikan

Oleh Fahrus Zaman Fadhly

Disampaikan pada acara Outbound Tarbawy Divisi HRD dan Personalia Ponpes Husnul Khotimah, Kuningan, Kamis, 11 Juli 2019.

Wahyu pertama yang diturunkan Allah swt itu tentang literasi: “iqra“: bacalah. Melalui membaca kita bisa menangkap ( decode ) yang tersurat (ayat-ayat qauliyah) dan tersirat (ayat-ayat kauniyah). Yang tersurat bisa berupa Al-Qur’an, manuskrip, naskah kuno, relief dan berbagai jenis teks lainnya. Yang tersurat mewujud dalam bentuk fenomena dan neumena alam, hubungan fisikal antar benda, waktu, jarak, massa, hubungan kausal (sebab-akibat) antar elemen-elemen alam, serta berbagai konteks peristiwa yang terjadi di alam. Termasuk di dalamnya fenomena sosial-budaya, ekonomi, pendidikan, politik, ideologi, hankam, dsb.

Iqra adalah wahyu yang revolusioner. Perintah iqra menjadi pintu bagi manusia mengenal dunia. Pelajaran pertama Allah kepada Nabi Adam adalah soal literasi, mengenalkan nama-nama benda. Nabi Adam sebagai murid “langsung dan pertama” Allah Sang Maha Kuasa, membuat “melek” atau “literat” Adam. Nama-nama adalah kosa-kata. Kosa-kata yang disebut vocabulary (Bahasa Inggris) atau mufradat(Bahasa Arab), adalah pintu mengenal dunia.

Kosa-kata menjadi jembaran bagi peserta didik bisa menguak berbagai misteri alam. Aktifitas menguak misteri alam ini yang kita sebut dengan research (pencarian, penyelidikan, penelitian). Hasil pencarian ini tidak terdokumentasi dengan baik bila tidak ditulis. Karena itu, seseorang tidak akan lulus jadi sarjana, magister atau doktoralnya, bila belum menulis laporan research -nya berupa skripsi, tesis atau disertasi.

Literasi dalam pendidikan mengantarkan mereka menjadi manusia yang utuh (paripurna) karena mampu mengintegrasikan kemampuan membaca ( decoding skills ) dan menulis ( encoding skills). Kegiatan membaca dan menulis menjadi aktifitas terintegrasi yang tidak terpisahkan. Seperti pepatah Yunani, ” Verba volant, scripta manent “, berbicara itu mudah hilang ditiup angin, tapi menulis itu abadi. Atau kata Prof. Chaedar, ” Words have wings, don’t make them fly “, kata-kata itu memiliki sayap, jangan biarkan mereka terbang dan meninggalkan kita.

Jadi kata-kata itu adalah bahan olahan. Produknya adalah tulisan. Bahan-bahan makanan tidak akan menjadi “makanan” bila tidak diolah. Representasi olahan kata-kata itu mewujud dalam bentuk teks yang bermakna ( meaningful text ), bisa berupa catatan harian, puisi, prosa, cerpen, novel, naskah akademik, catatan perjalanan, resensi buku, dan lain-lain.

Mengikat makna yang ada dalam teks dan konteks (alam) adalah keharusan. Namun, literasi tidak saja sesederhana dalam kegiatan membaca dan menulis yang dipahami awam. Tetapi ada proses alamiah yang dialami seseorang. Membaca yang efektif dan produktif, bukan sekedar melihat oretan-oretan tinta hitam dan berwarna lainnya di atas kertas, atau gerakan-gerakan dinamis di alam. Tetapi ada proses mental dan kognitif yang bekerja dalam proses membaca.

Kita perlu mengadopsi saran-saran para pakar literasi, bahwa penting bagi siswa dan pembaca umumnya agar aktifitas membaca berjalan efektif. Strategi membaca efektif itu yakni mengaktivasi potensi fikiran ( activating ), menafsirkan yang tersirat ( inferring ), memonitor dan mengklarifikasi teks dari sisi benar tidaknya dan perlu tidaknya ( monitoring-clarifying ), memunculkan pertanyaan ( questioning ), mencari dan menyeleksi ( searching-selecting), mengintisarikan ( summarizing ), and membuat visualisasi dan menyusun konsep yang dibaca ( visualizing-organizing) .

Karena itu, literasi saat ini kerap diartikan sebagai sikap kritis yang membantu kita memaknai dunia di sekitar kita. Alberta Education mengartikan literasi tidak saja aktivitas membaca-menulis, tetapi suatu ikhtiar dari seseorang untuk meningkatkan kemampuan, kepercayaan diri dan keinginan untuk memperoleh, mengonstruksi, dan menyampaikan makna dalam semua aspek kehidupan sehari-hari.

Lembaga perbankan dan keuangan misalnya, memerlukan kampanye “literasi finansial”. Komisi Penyiaran Indonesia, ilmuwan komunikasi dan pemerhati media memerlukan kampanye “literasi media”. Partai-partai politik, negarawan, pemerhati politik memerlukan kampanye “literasi politik” agar warga memiliki pengetahuan yang memadai dalam membentuk sikap politiknya.

Pemerintah, sekolah, guru dan pemerhati pendidikan memerlukan kampanye “literasi pendidikan” bagi publik agar bisa memilih layanan pendidikan seperti apa yang dibutuhkan. Dalam level mikro, literasi pendidikan bagi seorang guru adalah selain menguasai lanskap pengetahuan (baik secara teoritis maupun praktis), guru semestinya mengetahui perkembangan kejiwaan setiap siswa sehingga guru bisa memberikan perlakuan/layanan pendidikan yang sesuai dengab setiap individu peserta didik.

Literasi pendidikan juga menguak pentingnya kesadaran totalitas seorang guru, staf kependidikan, manajemen sekolah/universitas dan yayasan bahwa pendidikan adalah investasi jangka panjang ( long term investment ) yang semestinya meletakkan SDM (man power) sebagai sumber perubahan dalam seluruh aktifitas pendidikan. Membangun kompetensi, integritas dan loyalitas SDM menjadi literasi utama dalam pendidikan sehingga tertanam trust di dalam hati masyarakat.

Epilog

Literasi adalah aktifitas membaca-menulis yang terintegrasi sehingga membentuk pengetahuan dan pandangan dunia ( world view) seseorang. Pandangan dunia seseorang itu kemudian mendorongnya untuk turut berkontribusi dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat.
Literasi pendidikan menjadi pintu bagi semua pihak untuk bersama-sama menyusun cetak biru ( blue print ) atau peta jalan ( roadmap ) yang dimulai dari gerakan membaca-menulis yang terintegrasi sehingga memunculkan kesadaran kritis tentang pentingnya kontribusi masing-masing individu sebagai khalifatul fil ardli dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi umat, bangsa dan dunia. *

________________
Fahrus Zaman Fadhly, Dosen Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Kuningan (UNIKU)

Share This

COMMENTS

Wordpress (0)
Disqus ( )
WHATSAPP