
MENEMANI LANGKAH MAHASISWA DENGAN PENUH CINTA
Oleh: Husnul Khotimah
Pendidikan merupakan amanah besar yang tidak hanya berorientasi pada transfer pengetahuan, tetapi juga pada pembentukan karakter dan pendampingan moral. Pendidik dituntut untuk menghadirkan keadilan, profesionalisme, dan kasih sayang dalam setiap interaksi dengan peserta didik. Dalam konteks mahasiswa, yang berada pada fase remaja akhir menuju dewasa awal, kehadiran pendidik sebagai pendamping penuh cinta menjadi kebutuhan yang mendasar.
Islam memberikan perhatian yang sangat besar terhadap peran pendidik. Al-Qur’an menekankan pentingnya keadilan dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam proses pendidikan. Allah Swt., berfirman, “Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa…” (QS. Al-Maidah: 8).
Ayat ini menunjukkan bahwa pendidik tidak boleh memandang mahasiswa dengan kacamata subjektif, melainkan dengan prinsip keadilan yang berakar pada ketakwaan.
Menjadi pendidik adalah amanah yang berat karena menuntut kesiapan intelektual sekaligus spiritual. Rasulullah Saw., bersabda, “Sesungguhnya Allah menyayangi orang-orang yang ketika melakukan sesuatu, melakukannya dengan itqan (sungguh-sungguh dan profesional).” (HR. Muslim).
Hadis ini menegaskan bahwa mendidik tidak cukup hanya dengan menyampaikan ilmu, melainkan harus dilakukan dengan kesungguhan, ketelitian, dan penuh tanggung jawab. Pendidik yang profesional akan menjadi teladan yang memudahkan mahasiswa untuk meneladani akhlak baik.
Sebelum membersamai mahasiswa, seorang pendidik harus selesai dengan dirinya sendiri. Ia perlu mematangkan emosinya agar mampu menghindari keberpihakan yang berlebihan. Mahasiswa adalah pribadi yang sedang mencari arah hidup. Mereka membutuhkan pendidik yang stabil secara psikologis, sehat secara sosial, dan mumpuni secara akademik. Tanpa itu semua, pendidik bisa terjebak dalam pola asuh yang tidak adil.
Membersamai mahasiswa sejatinya adalah perjalanan untuk memahami mereka. Bukan hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga mendampingi mereka dengan cinta, kesabaran, dan ketulusan. Rasulullah Saw., bersabda, “Tidaklah beriman salah seorang dari kalian sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Cinta dalam pendidikan bukan sekadar emosi, tetapi energi spiritual yang mampu menumbuhkan ikatan antara pendidik dan mahasiswa. Dengan cinta, seorang pendidik mampu menyentuh hati mahasiswa, sehingga proses belajar bukan hanya kognitif, tetapi juga afektif dan spiritual.
Dalam konteks akademik, cinta bukan berarti memanjakan mahasiswa, melainkan menuntun mereka menuju kemandirian. Cinta mendorong pendidik untuk bersabar terhadap kesalahan, memberikan ruang bagi mahasiswa untuk bertumbuh, serta menghadirkan teladan dalam perilaku. Dengan demikian, cinta menjadi energi transformatif yang menjadikan pendidikan lebih bermakna.
Berdasarkan beberapa pemaparan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa menjadi pendidik bukanlah sekadar profesi, melainkan amanah ilmiah dan spiritual. Mereka dituntut untuk menghadirkan keadilan, kematangan emosional, serta kesungguhan (itqan) dalam mendidik. Membersamai mahasiswa bukan sekadar tugas akademik, melainkan proses mendampingi mereka dengan segenap ketulusan dan cinta.
Dengan cinta, seorang pendidik mampu menjaga keadilan, mengarahkan dengan kesabaran, serta menumbuhkan semangat mahasiswa menuju kebaikan. Maka, pendidikan yang dibangun di atas cinta bukan hanya menghasilkan manusia cerdas secara intelektual, tetapi juga berakhlak mulia dan siap menjadi generasi yang membawa rahmat bagi sesamanya.