SETENGAH TIANG

SETENGAH TIANG

setengah abad baru juga lewat

kisah kemanusian yang menyayat

dalam ikatan siksa sekarat

tubuh-tubuh menjadi mayat

di lubang dalam nan pengap

 

benturan ideologi penuh darah

intrik-intrik sengaja memicu marah

tak peduli sebenarnya lawan tak salah

di akhir tragedi tak mau dianggap salah

 

prasasti ditetapkan setengah tiang

penghormatan sekaligus perkabungan

terhadap nyawa melayang tak berbilang

menghadang langkah keserakahan

 

setengah abad yang baru juga lewat

setengah tiang entah apa masih bertiang

 

(kampung manis, 12:30, 30/9/2016)

 

Tanggal 1 oktober merupakan hari berkabung nasional. Tiap tahun diperingati dengan pengibaran bendera setengah tiang. Berawal dari peristiwa memilukan di tahun 1965. Tujuh jenderal dalam jajaran Angkatan Darat disingkirkan dengan cara yang teramat keji. Didahului dengan adanya isu dewan jenderal yang akan mengambil alih komando kekuasaan dari pemerintahan yang sah.

Jika ditelusuri peristiwa yang lain, dan merupakan suatu rangkaian ternyata peristiwa lubang buaya hanya secuil fakta yang ditemukan akan kekejaman terhadap sesama anak bangsa.

Ayat-ayat yang Disembelih sebuah buku yang berdasarkan cerita dan wawancara dari para saksi dan pelaku sejarah yang disusun oleh Anab Afifi dan Thawaf Zuharon memberikan kejelasan seperti apa kekejaman Partai Komunis Indonesia dalam aksi sepihaknya. Tidak ada satupun kesaksian yang mengatakan bahwa PKI itu baik-baik saja, membaur dengan masyarakat, menyatu dengan ulama. Tidak ada.

Di Tegal ada tokoh kejam yang dijuluki Kutil (nama sebenarnya Sakyani), oktober 1945 telah menyembelih seluruh pejabat pemerintahan di sana. Kutil juga mengarak Kardinah (kakak kandung RA Kartini) keliling kota, nyaris dibunuh, jika saja tidak ada yang menyelamatkannya. Di Sumatra Utara, kisahnya teramat miris. Keluarga istana Sultan Langkat Darul Aman di Tanjung Pura, ditumpas habis. Hartanya dikuras semuanya. Termasuk juga putra mahkota, Amir Hamzah sang penyair.

Di Jawa Timur, Gubernur RM Soerjo, pualng dari lawatannya menghadap Presiden Soekarno. Di tengah jalan mobilnya dihadang pemuda rakyat PKI, lalu diseret menggunakan tali sejauh 10 km hingga meregang nyawa, lalu mayatnya dicampakkan di tepi sungai. Seorang yang turut berjasa dalam mempertahankan Surabaya dalam pertempuran melawan Belanda.

Di Madiun, kekejian yang tak terpikirkan akal waras juga terjadi. PKI dengan tega menusuk dubur warga Pati dan Wirosari menggunakan bambu runcing. Lalu mayat mereka ditancapkan di tengah-tengah sawah, seolah-olah pengusir burung pemakan padi.

Ahmad Manshur Suryanegara, Guru Besar Sejarah Universitas Pajajaran penulis buku Api Sejarah mengomentari “…Anaf Afifi seperti telah ditakdirkan Allah untuk membuka yang tersembunyi. Inilah buku paling lengkap yang mengungkap sejarah kekejaman PKI.”

Taufiq Ismail begitu risau dengan generasi muda yang tak lagi mengenal hakekat dan kekejaman kaum komunis. Dalam sebuah buku saku berjudul Tiga Dusta Raksasa Palu Arit Indonesia: Jejak Sebuah Ideologi Bangkrut di Pentas Jagad Raya, (Jakarta: Titik Infinitum, 2007), Taufiq menyajikan data yang teramat menarik: Komunisme adalah ideologi penindas dan penggali kuburan massal terbesar di dunia.

Dalam menghilangkan lawan politiknya, komunis telah membantai 120 juta manusia, dari 1917 sampai 1991. Itu setara dengan pembunuhan terhadap 187 nyawa per jam. Itu dilakukan selama ¾ abad (sekitar 75 tahun) di 76 negara. Karl Marx (1818-1883) pernah berkata: “Bila waktu kita tiba, kita tak akan menutup-nutupi terorisme kita.”

Jadi, jika saat ini ada yang mempermasalahkan dengan mengatakan bahwa PKI hanyalah korban dengan mengungkapkan fakta pasca tragedy 1965, itu sama artinya membicarakan permasalahan di bagian akhir saja. Kesimpulan yang sengaja mencari keuntungannya sendiri. Apalagi yang meributkan masalah puntung rokok, apakah si tokoh perokok atau bukan.

TAGS
Share This
WHATSAPP