
USIA 75 TAHUN HAFAL AL-QURAN
Suatu hari, seorang guru Al-Qur’an di Madinah setelah menjelaskan kajian hadits tentang keutamaan menghafal Al-Qur’an, seorang nenek kisaran umur 75 tahun, datang menghampiri dan berkata: ”Wahai anakku, aku ingin berada di tingkat tertinggi di surga, aku ingin bisa berada di sana, tapi aku tidak bisa membaca Al-Qur’an sama sekali.” Kemudian sang guru bergegas pergi ke kantornya, mengambil sebuah tas yang berisi paket lengkap kaset murattal Syekh Al Minsyawi, lalu diberikan kepada si nenek, agar ia bisa menghafal lewat kaset-kaset itu.
Si nenek yang tinggal sendirian karena semua anaknya sudah berkeluarga, pulang dengan kebahagiaan yang teramat sangat, yang hanya bisa dirasakan oleh orang-orang yang bersih hatinya, yang merindu surga. Sejak itu si nenek terus menghafal, mendengarkan kaset pemberian sang guru tiap hari, menghafalkan minimal 1 halaman per harinya, menyetorkan kepada sang guru, kemudian duduk menghabiskan waktu untuk mengulang-ulang hafalannya di sisi guru.
Sebelum mulai menghafal, si nenek hampir tiap hari menelpon anak-anaknya, menanyakan kabar, meminta mereka mengunjunginya, menyampaikan bahwa beliau merindukan mereka dan sebagainya. Sampai hari-hari mulai menghafalkan Al-Qur’an, beliau melarang anak-anaknya untuk berkunjung kecuali di hari kamis dan jumat, karena tidak mau waktunya banyak terbuang sebelum ajal menjemputnya. Al-Qur’an secara bertahap memalingkan sang nenek dari dunia. Kecintaan akan dunia hilang sedikit demi sedikit bersama banyaknya ayat yang dihafalkan.
Dengan kesungguhannya dalam menghafal Al-Qur’an, beliau dapat menyelesaikan selama 2 tahun saja. Istiqomah dalam menghafal tiap hari, mengulang hafalan, niat yang tulus dalam menggapai surga, membuat Allah memudahkannya untuk menyelesaikan hafalan. Sang guru begitu terharu, sampai akhirnya meminta sang nenek berbicara di depan khalayak ramai, bagaimana bisa menghafal Al-Qur’an dalam waktu dua tahun saja.
“Wahai anakku, sungguh aku tak mau bicara di depan khalayak ramai, kemudian dikatakan seorang hafizhah Al-Qur’an dan dipuji-puji oleh manusia. Bukankah aku sudah katakan dari awal, seperti katamu wahai anakku, bahwa aku hanya ingin naik di hari kiamat nanti ke surga yang tertinggi”
Sang guru terus membujuk, dengan berbagai alasan, bahwasanya beliau ingin orang lain melakukan hal yang sama, membagikan semangat yang begitu segar di umur yang telah hampir layu, sang guru ingin orang-orang mengambil pelajaran dari si nenek. Dan akhirnya, dengan izin Allah, si nenek menyetujuinya. Kemudian ditentukanlah tempat dan tanggal pertemuan.
Pada hari yang telah ditentukan, dengan perasaan gembira dan rindu yang mendalam, sang guru memanggil nama nenek itu, dengan penuh harap akan tumbuh penghafal penghafal Al-Qur’an dari kalangan muda dan tua di Kota Madinah. Siapa pun yang menyaksikannya akan tersulut semangatnya untuk menghafal Al-Qur’an. Namun apa yang terjadi tak seperti yang diperkirakan, karena Allah yang Maha Mengatur lagi Maha Mengetahui. Manusia berencana, namun keputusan ada di tangan-Nya.
Berdirilah seorang gadis remaja, sekitar 15 tahun, ia menyampaikan di depan para jamaah: “Wahai Ustadzah, sesungguhnya nenekku telah meninggal dunia dua hari yang lalu.” Semua terdiam. Sang guru, para jamaah, dan semua yang mendengar cerita itu, ada yang tertunduk, ada yang menangis tersedu, ada yang termenung, ada yang sibuk mencari tisu. Ada juga yang tak henti-hentinya mengucap kalimat takjub, hatinya menangis dan teriris, bukan karena sang ibu sudah meninggal dunia, atau karena tak jadi berbicara di depan orang ramai, bukan sama sekali. Yang membuat semuanya begitu sedih dan terharu, adalah bagaimana Allah menginginkan kebaikan untuk beliau di sisa-sisa hidupnya. Bagaimana Allah mengantarkan beliau untuk mendatangi majelis Al-Qur’an di hari itu, bagaimana Allah menggerakkan hati beliau untuk bisa menghafal Al-Qur’an, bagaimana Allah membuat beliau istiqomah, dan bagaimana Allah timbulkan kecintaan beliau kepada Al-Qur’an?
Sungguh kisah nyata yang sangat layak untuk direnungkan dan ditiru. Berapa pun umur kita, bukanlah penghalang untuk mulai menghafalkan Al-Qur’an. Rasulullah saw diutus ketika berumur 40 tahun, dan sejak itu mulai menghafal sampai akhir hayatnya. Begitu pula para sahabat, menghafal Al-Qur’an di umur mereka yang telah senja. “Sesungguhnya Allah mempunyai keluarga di antara manusia. Para sahabat bertanya: ‘Siapakah mereka ya Rasulullah?’ Rasul menjawab, “Para ahli Al-Qur’an. Merekalah keluarga Allah dan pilihan-pilihanNya.” (HR. Ahmad). Semoga kita diberi kemudahan untuk istiqamah agar termasuk ahli Al-Qur’an, keluarga dan pilihan Allah di muka bumi. Aamiin. Wallaahu A’lam.