
Bagaimana Cara Berinteraksi dengan Sejarah Kita?
“Dulu, kami hanyalah penggembala domba
Lalu datang Al Qur’an, kemudian kami menjadi pemimpin bangsa-bangsa
Lalu kami menjauh dari Al Qur’an
Dan jadilah kami kaum yang digembala bangsa-bangsa”
Syair itu pernah saya baca dalam sebuah thread yang disampaikan seorang pakar sejarah Dr Ali Muhammad Al Audah. Ia singkat, tapi merangkum kisah sebuah umat yang berumur 1400 tahun lamanya dengan ringkas. Ia sekaligus juga menjadi kaidah yang memberikan kita pelajaran, bahwa kita jadi hebat dengan Al Qur’an, kemudian lemah jika menjauh darinya.
Saya jadi ingat apa yang disampaikan Khalifah Umar bin Khattab suatu hari kepada para panglimanya ketika membebaskan wilayah Syam yang mahal harganya, “kita adalah kaum yang dimuliakan Allah dengan Islam. Jika kita mencari kemuliaan selain darinya, maka Allah akan menghinakan kita.”
Ibarat sebuah serial, sejarah kita adalah rangkaian episode berisi gelombang naik dan turun. Ada klimaks, ada antiklimaks, ada episode kebangkitan, ada episode kejatuhan. Ada masa-masa dimana pemimpin shalih dan rakyatnya yang baik, ada juga masa dimana pemimpinnya lemah dan rakyatnya tercerai berai. Semua itu ada dalam sejarah Kaum Muslimin.
Maka masa lalu kita sebenarnya tidak selalunya dikaitkan dengan masa-masa kejayaan. Ternyata umat kita ini hidup dalam gelombang; tidak selalunya di atas, dan tidak selalunya di bawah. Tapi, bagi orang-orang yang mempelajari sejarah, mereka akan tahu bahwa ada setiap di atas syaratnya apa, dan setiap jatuh sebabnya apa.
Itulah yang dalam Al Qur’an disebut sebagai sunnatullah. “Sungguh, telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah (Allah)” (QS Ali Imran 137) bahwa kemenangan dan kekalahan itu dipergilirkan. Umat Islam pernah menang, tapi juga pernah kalah.
Nah, di situlah cara kita berinteraksi dengan masa lalu kita; untuk mencari apa syarat-syarat kalau umat ini mau menang, dan mempelajari apa sebab-sebab yang membuat pendahulu umat ini terjatuh. Semua itu hanya bisa didapatkan dari mempelajari sejarah. Benarlah kemudian hikmah ini berkata, “siapa yang tidak belajar dari sejarah, maka sejarahlah yang akan mengajarkannya.”
Syarat-syarat Kemenangan
Apa yang membuat kita menang? Mari kita belajar dari sejarah. Dalam rentang perjalanan Umat Islam, tercatat kita sering sekali memenangkan kemenangan besar dengan spektakuler. Kemenangan yang nampaknya hari ini kita bergeleng kepala karena cukup kaget ternyata kita pernah sehebat itu.
Ada kemenangan Kaum Muslimin di Badar, ada kemenangan Khaibar, kemenangan Khandaq, kemenangan Fathu Makkah, kemenangan Tabuk, kemenangan pembebasan Persia dan Syam, terbebasnya Andalusia, terbukanya India dan Asia Tengah, sampai kemudian pembebasan Konstantinopel. Banyak sekali. Dan inilah yang selalu diangkat oleh banyak sekali sejarawan.
Tapi pertanyaannya; apa persamaan kemenangan-kemenangan tersebut? Apakah keadaan Umat Islam saat mereka mendapatkan kemenangan itu?
Dalam setiap kemenangan yang Allah berikan pada Kaum Muslimin, kemenangan itu pertama-tama adalah kemenangan iman terlebih dahulu sebelum kemenangan fisik. Kondisi spiritual Kaum Muslimin sedang dalam puncak-puncaknya, sehingga akidah mereka mantap, iman mereka kuat, ibadah mereka berkualitas, dan dzikir mereka sangat banyak.
Hal ini sangat kentara dalam kemenangan di Badar. Saat itu jumlah Kaum Muslimin sedikit, perlengkapan perang mereka sama sekali tak sepadan dengan musuh, sementara kala itu pasukan Quraisy ada dalam keadaan angkuh, logistik yang mantap dan segala keperluan yang tersedia. Tapi iman menjadi poin penting yang membuat Kaum Muslimin dimenangkan.
Tak hanya kualitas iman saja, Rasulullah pun melakukan segala persiapan manusiawi dan manajemen yang maksimal. Pemilihan tempat yang strategis, bahkan sampai memikirkan arah sinar matahari. Penyusunan komposisi pasukan yang rapi, dan segala ikhtiar manusiawi yang bisa dilakukan.
Bersatunya iman yang total dan ikhtiar yang mantap menjadikan 17 Ramadhan 2 Hijriah itu sebagai kemenangan Badar yang besar dan paripurna. “tetapi Allah berkehendak melaksanakan suatu urusan yang harus dilaksanakan, yaitu agar orang yang binasa itu binasa dengan bukti yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidup dengan bukti yang nyata. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS Al Anfal 42)