Hari Santri dan Merawat Nilai Kepesantrenan

Hari Santri dan Merawat Nilai Kepesantrenan

Hari Santri telah menobatkan pelajar, santri, dan kaum muda menjadi aktor penggeraknya. Sejarah telah mencatat, peran pemuda dan kaum terpelajar sangatlah besar bagi tercapainya kemerdekaan. Persatuan dan kesatuan telah mengubah model perlawanan terhadap penjajahan. Jika sebelumnya perlawanan terhadap penjajahan harus dilakukan dengan mengangkat senjata dan mempertaruhkan nyawa yang tidak terbilang banyaknya, maka para pemuda dan kaum terpelajar telah mengubahnya dengan diplomasi dan kooperatif. Begitu juga dengan santri, di akhir abad 19, kelompok santri lebih banyak mengangkat senjata untuk melawan imperialisme, perlahan mulai mengubah strategi perlawanannya. Awal abad 20, para Kiai dan santri mendirikan lembaga pendidikan dan pesantren untuk membangun kekuatan mental melawan penjajahan.

Mengutip dari situs resmi Kementerian Agama (Kemenag), sejarah Hari Santri bermula dari fatwa ‘Resolusi Jihad’ yang disampaikan KH Hasyim Asy’ari.

Pada 22 Oktober 1945, KH Hasyim Asy’ari memimpin perumusan fatwa ‘Resolusi Jihad’ di kalangan kiai pesantren. Fatwa yang ditetapkan pada 22 Oktober 1945 itu berisi kewajiban berjihad untuk mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia dengan melawan pasukan penjajah yang masih ada di Indonesia.

Puncak perjuangan atas landasan jihad kebangsaan tersebut kemudian melahirkan peristiwa heroik pada 10 November 1945 di Surabaya. Peristiwa itu juga dikenal sebagai cikal bakal dan sebagai peringatan Hari Pahlawan.

Peristiwa-peristiwa penting tersebut hanya sebagian dari banyak kejadian bagaimana santri, pemuda, ulama, habaib dan umat Islam berkontribusi positif untuk bangsa dan kemerdekaan Negara Indonesia. Oleh karena itu, kontribusi ini perlu diteruskan oleh para santri dan pemuda Islam.  Mencintai Bangsa dan Negara dengan mengenal sejarah santri dan pemuda, agar selalu bersatu, bisa bekerja sama dengan elemen-elemen bangsa lainnya. Untuk merealisasikan tujuan Indonesia merdeka.

Sahabat Rasulullah SAW, bernama Ibnu Abbas RA pernah menyampaikan mengapa dalam Al Qur’an banyak diungkap sejarah dan cerita-cerita sejarah. Karena kisah-kisah itu sesungguhnya adalah sarana untuk menjadi ibrah (pelajaran) dan menunjukkan bahwa memperjuangkan kebenaran dan kemaslahatan itu juga sudah dilakukan generasi sebelumnya dengan berbagai nilai yang diwariskan untuk jadi pembelajaran. Kisah-kisah tersebut tetap relevan bisa menjadi pegangan, dan inspirasi bagi para santri dan pemuda di masa kini dan masa yang akan datang.

 

Merawat Nilai-Nilai Kepesantrenan

Jika dahulu para pemuda dan santri berperang melawan kolonialisme dan imperialisme, pemuda dan santri masa kini harus berhadapan dengan liberalisme dan kemajuan teknologi. Musuh kaum muda dan santri saat ini adalah kemiskinan, kebodohan, dan ancaman pengaruh ideologi-ideologi yang mengancam keutuhan bangsa.

Sebagai santri, harus mempunyai komitmen dan ikhtiar yang kokoh agar mampu menjaga nilai dan karakter santri. Hal ini disebabkan karena seorang santri telah menjadi pioner kebaikan dalam kemasyarakatan. Menjaga nilai kepesantrenan, dalam kondisi apapun, menjadi kewajiban yang harus tetap dipertahankan.

Merawat identitas santri di tengah kehidupan yang modern dan hedonis tidaklah mudah. Harus disertai komitmen yang tinggi, kesadaran yang hakiki, serta tindakan konkrit dalam keseharian. Tidak mungkin seorang santri dapat memberikan warna kepesantrenan jika tidak ada upaya maksimal dari individu santri itu sendiri.

Menjaga diri dengan cara merawat eksistensi santri harus disertai dengan kewaspadaan yang tinggi. Tidak menutup kemungkinan dengan adanya lingkungan yang kurang kondusif, justru santri terperosok ke dalam kemaksiatan. Jika ini terjadi, maka kesantriannya akan tergerus dan puncaknya akan lepas dan hilang dari kehidupan. Hal ini jangan sampai terjadi.

Tarbiyah Islamiyah di Pondok Pesantren Husnul Khotimah harus mewujudkan lingkungan, komunitas dan identitas yang mencerminkan Islam yang sesungguhnya. Cara berpikir, cara berpakaian, pola pergaulan, simbol-simbol yang dipakai para santri diupayakan steril dari nilai-nilai jahiliyah. Baik ketika di Pondok Pesantren ataupun ketika di luar Pondok Pesantren. Meskipun para santri berbaur dengan lingkungan dan masyarakat luar. Istilah Sayyid Qutbh, yakhtalitun walakin yatamayyazun, berbaur tapi tetap memiliki keistimewaan sebagai santri dan kader Islam. Wallahu a’lam

TAGS
Share This
WHATSAPP