Menjaga Identitas Santri
Istilah santri bukan untuk sesuatu yang dibangga-banggakan, akan tetapi layak bangga menjadi seorang santri. Santri itu unik, santri itu istimewa. Apalagi era milenial saat ini. Di tengah godaan dunia yang semakin banyak pilihan dengan berbagai bentuk aktifitas yang melenakan, masih ada sekelompok pelajar yang memilih jauh dari hiruk pikuk tersebut. Memilih dalam satu komunitas yang sehari-hari berada dalam lingkungan yang terbatas. Sekolah dan segala aktifitas harian tetap dalam lingkup itu. Istilah sederhananya boarding school. Meskipun sebenarnya jauh lebih luas dari itu.
Aktifitas santri di dalam pesantren itu duapuluh empat jam dalam sehari. Tidak ada celah meskipun hanya satu detik. Berbeda dengan boarding school yang lebih bermakna para siswa menginap, yang bisa jadi sudah tidak ada keterkaitan antara sekolah dengan di luar jam sekolah.
Merujuk pendapat KH Ma’ruf Amin bahwa santri itu tidak hanya terbatas pada aktifas di pesantren, tidak banyak merujuk pada seseorang yang menimba ilmu di pesantren, akan tetapi siapa saja yang dengan tekun mengikuti ajaran-ajaran kyai, ajaran-ajaran ustadz dengan sepenuh hati. Senantiasa berpegang teguh kepada Al Quran dan sunah Nabi. Tidak menoleh kanan dan kiri yang bisa menjeremuskan atau membuat terlena meninggalkan sikap kesantriannya. Tidak terpengaruh hal negatif di sekitarnya.
Teramat miris jika kemudian terjadi pergeseran dalam perilaku, tidak mencerminkan sikap seorang santri dengan alasan tidak lagi berada di dalam lingkungan pondok pesantren. Mungkin inilah yang bisa disebut sebagai mantan santri. Benar-benar meninggalkan nilai-nilai yang telah dipelajari, yang diperoleh selama di pondok pesantren. Tidak berbekas sama sekali, ilmu yang didapat, tidak diamalkan. Karakter yang seharusnya melekat sebagai perilaku dari hasil pembiasaan justru tergerus, terseret arus dalam pergaulan. Tentu hal ini adalah sesuatu yang sangat tidak diinginkan.
Pemikiran-pemikiran yang tak sesuai dengan ajaran Islam tak perlu diikuti. Tidak perlu risau dan takut dianggap tidak bisa membaur. Perlu ditekankan jika bisa mempengaruhi kebaikan itu lebih bagus, tapi jangan sampai terseret dalam arus ketidakbaikan, terutama dengan alasan demi pertemanan.
Pondok pesantren bukanlah terminal, atau swalayan. Yang hanya perlu dikunjungi sebagai ajang mejeng atau rehat sejenak. Atau bukan sebagai tempat transit untuk melanjutkan perjalanan. Pondok pesantren merupakan tempat menempa diri, kawah candradimuka. Membentuk karakter islami, mendalami ilmu-ilmu agama untuk diamalkan baik sebagai individu, ataupun yang nantinya akan terjun langsung ke masyarakat. Di pesantren karakter muslim dibentuk. Kebiasaan-kebiasaan positif ditanamkan agar menjadi kebiasaan untuk seterusnya, bukan hanya sementara selama di dalam pondok pesantren.
Setelah lulus dari pondok pesantren terserah mau memilih menjadi apa. Melanjutkan pendidikan jejang selanjutnya, juga tidak ada pembatasan pada ilmu-ilmu agama saja. Sebagai pesantren yang berbasis dakwah dan tarbiyah mengharapkan agar alumninya apapun profesinya nanti, karakter dai tetaplah yang utama. Silakan menjadi dokter, dokter yang dai, menjadi pengusaha, pengusaha yang dai, mengutamakan kejujuran dan keberkahan daripada keuntungan semata yang berlipat ganda. Menjadi tenaga pendidik, jadilah tenaga pendidik yang dai, meskipun bukan ilmu agama yang diembannya. Nilai-nilai Islam bisa disampaikan melalui ilmu yang diajarkan. Menjadi pejabat, jadilah pejabat yang dai, patut dicontoh dan ditiru oleh rakyatnya, menjalankan amanah demi kemaslahan umat dan ridha Allah swt.